Tahun lalu saat beredar surat keputusan Kakorlantas (Nomor ST/2652/XII/2015) tentang penggolongan SIM C baru, saya sudah menulis artikel bahwa keputusan itu melampaui kewenangan Korlantas karena itu harusnya diatur UU. Tidak lama kemudian keputusan itu ditarik. Namun kini muncul lagi penerapan jenis dan tariff penerimaan negara untuk tiga tipe sim C. Lhoo… dasar hukum dan logikanya bagaimana.
tabel: http://setia1heri.com
Saya termasuk pendukung penerapan SIM berjenjang untuk memastikan keselamatan di jalan raya. Tapi saya tidak mendukung proses penerapan yang tidak mengikuti tertib pembentukan hukum di Indonesia.
Penggolongan SIM jelas diatur di dalam UU Lalu Lintas No 22/2009 pasal 80 mengenai “Bentuk dan Penggolongan Surat Izin Mengemudi”.
Pasal ini mengatur 5 golongan SIM:
- A (kapasitas >= 3.5 ton),
- B I (kapasitas >= 3.5 ton),
- B II (kendaraan berat, penarik dll),
- C (kendaraan roda dua),
- D (kendaraan khusus penyandang cacat).
Ingat ya, sudah diatur di dalam UU.
Hendak merubah penggolongan SIM ya rubahlah dengan merevisi UUnya. Yang terjadi kok justru dengan mengeluarkan PP tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara. Lhoooo….
Saat PP mengatakan tariff untuk SIM C1 itu sejumlah xxxxx rupiah, itu dasar rujukannya tentang keberadaan SIM C1 pasal mana dalam UU?
PP ini kan merupakan peraturan pelaksana yang bersifat administratif agar perintah UU (yang bersifar norma) bisa dilaksanakan. Hirarkinya memang PP di bawah UU.
Pertanyaannya, perintah UU ttg penggolongan SIM C mana yang dijadikan dasar untuk kemudian menentukan besarnya tariff?
Publik mungkin lebih terserap perhatiannya dengan teknis penggolongan SIM C baru. Dan tidak memperhatikan bahwa PP yang mengatur tentang tariff penerimaan Negara tidak bisa dijadikan dasar hukum penggolongan karena bukan setingkat UU.
Ini menurut saya bentuk penyelundupan pengaturan hukum yang melampaui kewenangan teknis PP nya.
Solusinya mas?
- Saya tetap setuju penggolongan SIM C. 1000% setuju kalau prosesnya bersih, transparan, tidak dipersulit dengan test yang masuk di akal.
- Pemerintah perlu mengintrodusir penggolongan SIM baru itu dengan tetap tertib hukum. Rubah pasal 80 UU Lalu Lintas. Jangan biasakan mengeluarkan kebijakan hukum tidak pada tingkatan aturannya. Memberlakukan penggolongan SIM baru jangan pada produk hukum yang mengatur tentang tarif.
Masuk akal, mr Leo. Kok bisa menerbitkan PP tanpa ada revisi UU, lalu PP tsb merujuk kemana? Hmm…
Owh..gitu, wah..om leo teliti skali
http://sebarkan.org/2017/01/09/1000-tahun-baru-muncul-komet-ini-jadi-fenomena-alam-penghias-langit-di-awal-tahun
Emang fax nya Om Leo ini
ajur…. 😂
negri mainan.
Lha kalo penjenjangan berdasar kubikasi itu gmn om? max 250cc =SIM C, up 250cc-500cc= SIM C1, 500cc up= SIM C2. Terus ada motor 250cc ee… ternyata realnya kubikasi kurang dikit, 248-249,.. terus hukumnya gmn tuh Om? Ikut low end atau midle?
lihat registrasi identifikasi di BPKB
Oh gitu ya
kemarin sempat telpon ke call centre korlantas polri, jadi sbb:
s/d 250cc, sim C
s/d 500cc, sim C1
501 ke atas, sim C2
Lah iya om, melampaui peraturan yg lbh tinggi.. kalau diaudit harusnya kena tuh, 😀
kadang saya jg bingung om leo sama bapak2 pejabat.contoh lain om.UU no.13 ama PP 78.maaf ngaco om leo.
Uu dan pp tersebut tahun berapa om?? Ane pengen cari dan baca di mbah google
uu 13 tahun 2003 ma pp 78 tahun 2015 om
drpd ambigu, mendingan:
1-250
251-500
501++
setuju, ane juga bingung, ane pake 250cc, tapi rencana upgrade ke c1 soalnya males debat sama polkis
mau tanya om, PP dan UU setelah di terbitkan itu langsung mulai terapkan atau ada sosialisasi nya dan biasanya berapa lama ?
kalau langsung diterapkan bisa pada kena tilang yang pake motor di atas 250CC ke atas yak
bagi yang pernah bikin SIM C di Tulungagung tanpa nyogok, bakalan tahu khayalnya ujian praktiknya, dan dipastikan gagal .. #maafootdikit
baru tau nih, ternyta…
wahh lha ini..
Bener juga…..
om leo jeli…
joss…
Bisa judicial review ke mk g om kalo kaya gitu?
Ibarat ada hilir gak ada hulunya ya om?…😁…Memang beda klo yg nulis artikel ngerti hukum, josss om Leo….
Ane belum punya versi full PP nya. Cuma kalo dilihat sepintas di UU nya, ini mungkin karena ada/termasuk pasal karet di UU nya.
Pertama, di UU no. 22/2009, pasal 80 huruf d, cuma disebutkan SIM C untuk mengemudikan kendaraan sepeda motor. Tidak disebutkan detail mengenai pembatasan sepeda motor.
Kedua, ini yang krusial, pasal 88 menyebutkan ketentuan lebih lanjut bla bla bla diatur dengan peraturan kapolri. Bah! Bukan PP lho, tapi dibawahnya.
Ketiga, masalah biaya, yang ane dapet masih diatur PP no.50/2010. Jadi kalo misal PP no.50/2010 diganti oleh PP no.60/2016, menurut ane sih sah.
Jadi pendapat sementara ane, penerbitan PP belum menyalahi UU. Nanti ane baca lagi antara UU sama PP nya kalo dah dapet.
Tapi ane sepakat pemerintah perlu menetapkan dulu pembagian golongan sepeda motor. Masalahnya, ane masih kurang sreg kalo cuma berdasar cc, karena ada motor cc kecil tenaga besar, dan ada motor cc besar tenaga kecil. Sedangkan alasan utama penjenjangan SIM kan soal kemampuan rider.
Penerbitan PP ttg tarif memang tidak menyalahi UU. Masalahnya PP menentukan tarif untuk golongan SIM yang keberadaannya belum pernah diatur dimanapun.
Bukan problem, justru malah legit kan? PP membuat aturan yg belum diatur oleh peraturan yang lebih tinggi. CMIIW, lex speciali derogat legi lex generali.
perlu lebih dalam belajarnya om. Pembentukan hukum tidak hanya menggunakan satu azas. Hal yang bersifat norma tidak bisa diatur dalam hal yang bersifat administratif. Kalau engga, bisa2 setiap dirjen membuat aturan yang bukan kewenangannya.
Mantap om leo.skrg pmrinthny grusa grusu.kl rkyt lg nyerang hbis2n lgsg lepas tngan lmpar tanggung jwb…
250-500 cc harusny satu aja, masuk sim C biasa…
yg dibuat khusus sim 501cc keatas aja
Om g bhs skalian knaikan biaya admin dll STNK yg naik mpe 300%? Mnurut om leo sndiri gmn?
Pingback: Penggolongan SIM Baru Kok Melalui Aturan tentang Tarif Penerimaan Negara? Melampaui Kewenangan | kadalstanding
sim A harusnya di bawah 3.5ton, salah ketik tuh
i dont read what i sign… Xixi