Banyak manfaat yang bisa didapatkan dari penggolongan SIM C menjadi tiga kelas. Ini juga hal yang diterapkan di banyak negara. Tapi menurut tertib peraturan perundangan, penggolongan ini perlu diatur di dalam UU, seperti penggolongan SIM A, BI dan BII, bukan sekedar Surat Korlantas yang bersifat administratif (Nomor ST/2652/XII/2015).

aberita.com
Salah satu sumber persoalan lalu lintas yang kita hadapi sekarang ini adalah lemahnya kepatuhan berlalu lintas. Banyak orang yang sudah memiliki SIM namun tidak memiliki pengetahuan dan skill berkendara secara aman dan baik. Entah karena (1) memiliki SIM dianggap mudah, juga karena (2) melanggar aturan itu dianggap ‘murah’ di Indonesia.
Penggolongan SIM C menjadi tiga kelas adalah langkah yang sangat baik. Karena memang semakin besar kapasitas tenaga motor dibutuhkan pula keahlian yang semakin tinggi. Naik moge bukan sekedar soal keren-kerenan. Atau life style. Tapi adalah persoalan tanggung-jawab di ruang publik.
Karena itu menurut saya penggolongan SIM C, dan seharusnya juga sim A mengingat mobil-mobil supercar semakin banyak di jalan dan beresiko memakan korban seperti moge, perlu diatur secara tertib peraturan perundangan di dalam UU.
Mengapa?
- Karena perubahan ini tidak hanya bersifat administratif pelaksana, namun sudah memperkenalkan “norma aturan” baru, yang pelanggaran atasnya memiliki sanksi pidana. Dan itu tingkatannya adalah kewenangan UU. Analoginya adalah Dirjen Imigrasi (yang sesama eselon 1 dengan Kakorlantas) tidak dapat mengeluarkan kategori Passport baru. Atau Dirjen Pajak tidak dapat menetapkan penggolongan baru dari pajak. Bisa repot rek (dan juga melanggar tertib peraturan perundangan) kalau norma yang memiliki sanksi pidana bisa ditetapkan oleh semua pejabat eselon 1.
- Karena penggolongan SIM DIATUR didalam UU No 22/2009 pasal 80 mengenai “Bentuk dan Penggolongan Surat Izin Mengemudi”. Pasal ini mengatur 5 golongan SIM: A (kapasitas >= 3.5 ton), B I (kapasitas >= 3.5 ton), B II (kendaraan berat, penarik dll), C (kendaraan roda dua), D (kendaraan khusus penyandang cacat). Lebih jauh pasal 82 mengatur penggolongan SIM Umum.
Karenanya menurut saya, inisiatif baik penggolongan SIM C ini perlu diatur dalam peraturan perundangan yang lebih tinggi. Tujuan penertiban dan keamanan berlalu lintas perlu didukung dengan peraturan hukum yang mengikuti hirarki perundang-undangan.
Persoalan yang tidak kalah besar, yang saya sebut di awal, juga perlu ditangani dengan serius, yakni: lemahnya kepatuhan berlalu lintas. “Karena (1) memiliki SIM dianggap mudah, juga karena (2) melanggar aturan itu dianggap ‘murah’ di Indonesia.” Kalau tidak maka yang terjadi adalah perubahan prosedur administratif, namun persoalan substansial tidak tertangani sesuai yang kita harapkan.
gurhigurih sedap kalo om leo yang tulis
http://munivmotoblog.com/2016/01/11/polisi-cirebon-gagal-paham-lampu-led-honda-all-new-cb150r-kena-tilang-salam-tempel-100-ribu-case-close/
Sang ahli begitu kalau bicara…
http://singindo.com/2016/01/11/sistem-go-jek-diduga-bocor-data-pelanggan-dan-driver-tersebar/
Mas Leo, untuk International License seperti yg saya punya ini bagaimana ? Apakah tetep ngurus baru atau hanya langsung pembuatan SIM C2 yg dimaksud ? Mohon petunjuknya
untuk dipakai dimana?
karena kalo ditilang bisa damai ditempat.
Persulit aja tes SIM C1 dan C2 kang
Terus untuk tes sim C polos dipermudah gitu om? Lha sami mawon dong.
Enggak juga dong.. Sekarang saja sulitnya kayak gitu
test sim C aja sudah tergolong susah,
mungkin mudah yg dimaksud om leo memiliki makna yg lain (peluang bisnis).
kalo saya tetep mengharapkan lebih dari sekedar test,
yaitu edukasi, atau pelatihan dan semacamnya.
ya kali belum belajar udah main di test.
Itu juga perlu.. Paling tidak memberikan secercah kesadaran batin untuk tak arogan dan merasa paling wah diantara pengguna jalan lain
memiliki sim C mudah dan murah meriah disini
datang, salam tempel, cekrek aplut, eh cekrek…. tik…tik….tik…tik….tik…. simsalabim, sim pun jadi
https://revvingruby.wordpress.com/2016/01/11/motogp-2017-stoner-lorenzo-satu-tim-di-ducati/
Di Europe (Naples), Mas Leo..
itu berlaku untuk yg di Indonesia mas
Waduh, komentarnya koq nyasar ke bawah.. Heuheu
Nah belum berlaku aja udah ada yg mencoba “nego”,padahal itu tanggung jawab di ruang publik.
Yg seneng biro jasa nih Om…
😀
Ijin share artikel safety riding campaign Om..
Asah skill berkendara mu, agar siap menghadapi rintangan dijalan.
underyoke.com/2016/01/11/iklan-safety-riding-keren-asah-skill-mu-agar-siap-menghadapi-rintangan-dijalan/
kalau di aussie simnya update update gitu ya klo ganti kubikasi ?
om leo…kalo sy pny sim c1 apakah kalo sy mau naik bebek 100cc(terpaksa kondisi) hrus pny sim c jg?
1. Membuat sim itu mudah, 2. Melanggar aturan itu “murah” …. Statement ini dalem banget … Dan begitulah mental kebanyakan orang di Indonesia …
Mental pengendara nya yang Harus di revisi … Aturan lalu lintas ditegakkan Dan tidak di korup dilapangan …
Manteb oom tulisannya …
nah berarti aturan ini belum bisa dikatakan “SAH” donk, kan masih surat berupa surat administratif dan pengumuman via web resmi..
kita kan di sini buta soal beginian, mungkin bisa di share siapa dan bentuknya harus seperti apa agar hal ini menjadi resmi…saya sih setuju aja ada penjenjangan (meskipun harus menekan pil pahit ada indikasi wajib upgrade ke sim C1 yang baru diperpanjang tahun kemarin di masa ekonomi yang lagi sulit ini) agar setidaknya ada usaha dari pihak pemerintah untuk meminimalisir terjadinya lakalantas (apalagi sering liat anak2 muda sekarang mudah terstimulasi sinetron² tidak mendidik yang akhirnya banyak anak baru punya sim yang pakai motor bertenaga lumayan dengan bobot cukup berat)
kalau di Aussie thresholdnya pakai kapasitas mesin (cc) atau besaran output (HP)??
oh sekalian ditambahkan, kalau menurut Om Leo yang sudah jajal berbagai motor (dari yang hanya untuk asal jalan sampai the real killer) sebaiknya penjenjangan sim C, C1, & C2 berdasarkan apa sih??? apakah yang disebutkan korlantas sudah sesuai??
Apakah faktor populasi (orang dan kendaraan) juga berpengaruh dalam penegakan hukum (kepatuhan berlalu lintas) ?
itu salah satu argumen yg biasa diajukan. tp bgmn menjelaskan Amerika yg jumlah penduduknya diatas Indonesia ya.
Juga menjelaskan Timor Leste yang jumlah penduduk sedikit tp semrawut juga.
Populasi Amerika? Iya betul.
Tadinya saya mau “ngeyel” dg argumen density (tingkat kepadatan) di satu kota, tapi saya pikir nanti malah ngelantur kemana-mana 🙂
The point is character and mentality of the rider.
Sementara itu, orang Indonesia yg di luar negeri cenderung taat hukum ketimbang imigran dr negara berkembang lainnya ataupun ketimbang saar org Indonesia di negaranya sendiri. Ada faktor sistem dan penegakan hukum.
sebenarnya bagus aja pk Leo. hanya permasalahanya yaitu sperti yg disebutkan “lemahnya kepatuhan berlalu-lintas”
pelanggran yg sering dilihat tiap hari adalah nerobos lampu merah, nerobos jalan yang berlawanan arah.
sebaiknya mungkin dipasang kamera di setiap lampu merah seperti di luar.
tapi memang gak mudah kalau tanpa pengawasan intensif dan juga kesadaran dari pengendaranya.
Top Bro Leo….emang beda blogger yg punya latar belakang hukum, menulis tentang hukum/undang-undang mengenai lalu lintas. Topik2 di blognya juga tidak melulu mengenai informasi suatu produk (R2) seperti laiknya corong marketing pabrikan, yg berusaha membuat citra untuk produk tertentu. Just said.
asal tidak di salah gunakan aja
http://orongorong.com/2016/01/12/jalan-kosong-pun-malah-lebih-berbahaya-berhati-hatilah/
Malah menurut saya ini jadi lahan basah om
Ya ngerti sendiri kan gimana kelakuan orang indonesia
Mau test buat sim di depan udah ada calo duluan
Kalo ada kenalan orang dalam tinggal kasih pelicin jadi
Lah ini mau di buat berjenjang
Yang menurut saya agak sia sia
Karna kan sebagian besar orang indo pake moped/matic (ingat sebagian besar)
Jadi menurut saya sia sia kaya aturan nyalain lampu utama siang hari yang malah bikin silau yang lawan arah
*Cuman ngungkapin pendapat om😅✌️
Pingback: Penggolongan SIM Baru Kok Melalui Aturan tentang Tarif Penerimaan Negara? Melampaui Kewenangan | 7Leopold7
Pingback: Penggolongan SIM Baru Kok Melalui Aturan tentang Tarif Penerimaan Negara? Melampaui Kewenangan | kadalstanding